Pengertian Sistem Pemerintahan Demokrasi Liberal, Ciri, dan Demokrasi Liberal di Indonesia

Pengertian Sistem Pemerintahan Demokrasi Liberal atau demokrasi konstitusional
Sistem Pemerintahan Demokrasi Liberal

A. Pengertian Sistem Pemerintahan Demokrasi Liberal
Demokrasi liberal (atau demokrasi konstitusional) adalah sistem politik yang menganut kebebasan individu. Secara konstitusional, ini dapat diartikan sebagai hak-hak individu dari kekuasaan pemerintah. Dalam demokrasi liberal, keputusan-keputusan mayoritas (dari proses perwakilan atau langsung) diberlakukan pada sebagian besar bidang-bidang kebijakan pemerintah yang tunduk pada pembatasan-pembatasan agar keputusan pemerintah tidak melanggar kemerdekaan dan hak-hak individu seperti tercantum dalam konstitusi.

Demokrasi liberal dipakai untuk menjelaskan sistem politik dan demokrasi barat di Amerika Serikat, Britania Raya, Kanada. Konstitusi yang dipakai dapat berupa republik (Amerika Serikat, India, Prancis) atau monarki konstitusional (Britania Raya, Spanyol). Demokrasi liberal dipakai oleh negara yang menganut sistem presidensial (Amerika Serikat), sistem parlementer (sistem Westminster: Britania Raya dan Negara-Negara Persemakmuran) atau sistem semipresidensial (Prancis).


B. Ciri Sistem Pemerintahan Demokrasi Liberal
Adapun ciri-ciri Demokrasi Liberal di antaranya,
1. Kedudukan badan legislatif lebih tinggi daripada badan eksekutif.
2. Kepala pemerintahan dipimpin oleh seorang Perdana Menteri.
3. Perdana Menteri dan menteri-menteri dalam kabinet di angkat dan di berhentikan oleh parlemen.
4. Dalam demokrasi parlementer Presiden menjabat sebagai kepala negara.
5. Demokrasi liberal sering disebut sebagai demokrasi parlementer.
6. Kontrol terhadap negara, alokasi sumber daya alam dan manusia dapat terkontrol.
7. Kekuasaan eksekutif dibatasi secara konstitusional.
8. Kekuasaan eksekutif dibatasi oleh peraturan perundangan.
9. Kelompok minoritas (agama, etnis) boleh berjuang untuk memperjuangkan dirinya.

C. Sistem Pemerintahan Demokrasi Liberal di Indonesia
Pada perkembangannya, sebelum berdasarkan pada demokrasi Pancasila, Indonesia mengalami tiga periodisasi penerapan demokrasi di antaranya,
1. Demokrasi Liberal ( 1950-1959 )
2. Demokrasi Terpimpin ( 1959-1966 )
3. Demokrasi Pancasila ( 1966-sekarang)

Kesepakatan antara Indonesia dan Belanda dalam Konferensi Meja Bundar tanggal 6-15 Desember 1949 salah satunya adalah membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan panduan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. RIS terdiri atas 16 negara bagian, dengan luas wilayah dan penduduk yang berbeda-beda. Sidang Parlemen dan Senat RIS pada 16 Desember 1949 menunjuk Ir. Soekarno sebagai Presiden RIS, yang kemudian menunjuk Mohammad Hatta sebagai perdana Menteri.

17 Agustus 1950 RIS kembali menjadi Republik Indonesia (negara kesatuan). Tampuk kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh M. Natsir sebagai perdana Menteri sejak September 1950. Demokrasi Liberal berjalan terpincang-pincang dengan adanya tujuh kabinet dalam sembilan tahun, gerakan separatisme di banyak tempat, dan kekacauan ekonomi nasional. Ketidakstabilan berkepanjangan ini nantinya dihentikan oleh presiden dan diganti dengan pemerintahan otoritarian.

1. Kebijakan Ekonomi pada Masa Demokrasi Liberal
Sumitro berpendapat bahwa kunci menumbuhkan ekonomi nasional adalah memunculkan kelas pengusaha. Gerakan Benteng (1950-1953) dijalankan untuk memberikan kredit ringan pada 700 perusahaan Indonesia, namun tidak efektif karena sering disalahgunakan. Permasalahan utama ekonomi masa ini adalah defisit anggaran negara akibat penerimaan yang kecil. Ekspor sempat meledak pada masa Perang Korea pada tahun 1950, namun kembali menurun pada 1951.

Jumlah uang yang beredar tidak terkontrol, dan biaya hidup yang terus meningkat juga masalah utama di masyarakat. Prosentase defisit terus meningkat, pada 1950 mencapai 20%, sedangkan pada 1960 mencapai 100%. Ekonomi pada masa ini sangat carut-marut dan terus berlangsung sampai dengan tahun 1965.

2. Kebijakan Politik pada Masa Demokrasi Liberal
a. Konferensi Asia-Afrika
Konferensi Asia Afrika merupakan lanjutan dari Konferensi Colombo pada April 1954. Kegiatan ini dilaksanakan sebagai lanjutan pertemuan antara pimpinan negara Asia-Afrika untuk mengupayakan kedamaian. Konferensi ini memunculkan relasi dan kekuatan baru antar negara baru, serta membuat Indonesia memperoleh dukungan dalam merebut Irian Barat, serta persetujuan dwikewarganegaraan dengan RRC.

b. Pemilu 1955
Pemilu ini adalah pertama kalinya dilaksanakan sejak Indonesia merdeka 1955. Kegiatan ini perlu dilaksanakan dalam rangka memperoleh legitimasi sebagai penyelenggara negara demokrasi. Pemilu Konstituante dilaksanakan pada 15 Desember, dan Pemilu DPR pada 22 Desember. Hasilnya adalah PNI, Masyumi, NU, dan PKI sebagai pemenang pemilu dan menghasilkan Kabinet Ali Sastroamidjojo II.

c. Politik Luar Negeri Bebas-Aktif
Indonesia menerapkan politik luar negeri bebas-aktif di tengah ketegangan dunia antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Sikap ini ditunjukkan dalam keikutsertaan Indonesia dalam Gerakan Non-Blok serta memprakarsai Konferensi Asia-Afrika sebagai bentuk penghimpunan kekuatan yang tidak memihak serta dapat berhubungan dengan semua negara yang menjunjung tinggi kedamaian dunia.

3. Akhir Demokrasi Liberal
Masa demokrasi liberal diakhiri oleh keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, ketika kondisi tidak membaik selama sembilan tahun dan kegagalan konstituante untuk merancang pengganti UUDS 1950. Presiden mengambil alih tampuk kekuasaan dengan membubarkan konstituante, mengembalikan konstitusi pada UUD 1945, serta membentuk MPR dan DPA. Presiden Soekarno dengan dukungan utama dari TNI dan kemudian PKI berupaya untuk menuntaskan revolusi nasional dan mewujudkan stabilitas negara dengan kekuasaan penuh di tangannya.
 

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Pengertian Sistem Pemerintahan Demokrasi Liberal, Ciri, dan Demokrasi Liberal di Indonesia"