Pengertian Perfeksionisme, Aspek, Ciri, dan Tipenya
Perfeksionisme |
A. Pengertian Perfeksionisme
Perfeksionisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah watak atau sifat seseorang yang menganggap sesuatu yang tidak sempurna sebagai hal yang tidak dapat diterima. Secara umum perfeksionisme adalah keyakinan bahwa seseorang harus menjadi sempurna untuk mencapai kondisi terbaik pada aspek fisik ataupun non materi. Seorang perfeksionis adalah orang yang selalu ingin menjadi sempurna dan menuntut standar setinggi mungkin.
Perfeksionisme dalam psikologi adalah sifat kepribadian yang ditandai oleh perjuangan seseorang untuk tanpa cacat dan menetapkan standar kinerja tinggi, disertai dengan evaluasi diri yang kritis dan keprihatinan mengenai evaluasi orang lain. Yang terbaik dikonseptualisasikan sebagai karakteristik multidimensi, karena para psikolog setuju bahwa ada banyak aspek positif dan negatif.
Dalam bentuk maladaptifnya, perfeksionisme mendorong orang untuk berusaha mencapai cita-cita yang tidak dapat dicapai atau tujuan yang tidak realistis, sering kali mengarah pada depresi dan rendah diri. Sebaliknya, perfeksionisme adaptif dapat memotivasi orang untuk mencapai tujuan mereka, dan untuk memperoleh kesenangan dari melakukannya.
Pada bentuknya sebagai penyakit, perfeksionisme dapat menyebabkan seseorang memiliki perhatian berlebih terhadap detail suatu hal dan bersifat obsesif-kompulsif, sensitif terhadap kritik, cemas berkepanjangan, keras kepala, berpikir sempit, dan suka menunda. Obsesinya akan kesempurnaan menjadi beban pikiran dan meletihkan perasaannya.
Perfeksionisme Menurut Para Ahli
1. Murray (dalam Wattimena, 2015), perfeksionisme adalah seorang yang mengalami Icarus complex, akan memasang tujuan terlalu tinggi dan mengembangkan ambisi yang berlebihan. Pemikiran ini merujuk pada kecenderungan individu untuk mengevaluasi kualitas pribadi diri sendiri secara ekstrem.
2. Horney (dalam Gunawinata, Nanik, & Lasmono, 2008), seseorang yang mengembangkan need for perfection, yaitu dorongan untuk menggabungkan keseluruhan kepribadian ke dalam diri ideal secara neurotik, sehingga menjadi tidak puas dengan sedikit perubahan, tidak menerima sesuatu yang belum sempurna. Mereka meraih kesempurnaan dengan membangun seperangkat “keharusan” dan “ketidakharusan” yang kompleks, ini yang kemudian dinamakan oleh Horney “tyranny of the should”.
3. Romas & Sarma (dalam Gunawinata, Nanik, & Lasmono, 2008), perfeksionisme menciptakan pikiran yang tidak realistis dan tekanan yang sebenarnya membuatnya menderita. Pikiran tersebut adalah, “Saya harus sempurna untuk setiap apa yang saya kerjakan”, “Saya seharusnya tidak membuat kesalahan, demikian pula orang lain”,” Saya berusaha keras untuk melakukan yang benar, saya pantas terhindar dari frustrasi dan kesulitan hidup”, “Selalu ada satu cara yang benar untuk menyelesaikan sesuatu”, “Jika saya melakukan kesalahan maka hancurlah segalanya”, “Bilamana seseorang tidak melakukan sebagaimana seharunya mereka lakukan, mereka adalah manusia yang buruk”, “saya pantas menghukum diri sendiri”, “Jika saat ini saya tidak melakukannya dengan sempurna, maka saya harus bisa sempurna di lain waktu”, “Saya harus sempurna atau saya seorang yang gagal”.
4. Huelsman, Furr & dkk (dalam, Ananda, & Mastuti, 2013), perfeksionisme sebagai suatu hasrat untuk mencapai kesempurnaan di mana ditandai dengan perfeksionisme adaptif (Concientius Perfectionism) yang berasal dari internal individu dan perfeksionisme maladaptive (Self-evaluate Perfectionism) yang berasal dari eksternal individu.
5. Hamachek (dalam, Ratna & Widayat, 2013), perfeksionisme adalah karakteristik kepribadian paling penting yang diasosiasikan dengan keberbakatan. Hamachek percaya bahwa perfeksionisme dapat dihargai sebagai pengaruh positif, dan ia juga melihat perfeksionisme sebagai sebuah sikap dalam berperilaku dan sebuah sikap berpikir tentang perilaku.
6. Hill (dalam, Widiningrum, 2017), perfeksionisme merupakan suatu disposisi kepribadian yang ditandai dengan berjuang untuk mencapai kesempurnaan dan standar pribadi yang sangat tinggi disertai dengan terlalu kritis mengevaluasi diri sendiri serta kekhawatiran tentang penilaian diri individu lain.
7. Hewitt & Flett (dalam, Setiawan & Faradina, 2018), perfeksionisme dalam konsep multidimensional serta mendefinisikan perfeksionisme sebagai suatu tindakan atau sikap untuk tidak melakukan kesalahan dan untuk mencapai kesempurnaan dalam setiap aspek kehidupan individu. Perfeksionisme mencakup standar yang tinggi untuk diri sendiri, standar yang tinggi untuk orang lain, dan percaya bahwa orang lain memiliki pengharapan kesempurnaan untuk dirinya.
B. Aspek Perfeksionisme
Hill (dalam, Widiningrum, 2017) mengembangkan suatu pengukuran baru terhadap perfeksionisme, yaitu the perfectionism inventory yang terdiri dari delapan aspek di antaranya,
1. Ruminasi (Rumination), merupakan kecenderungan untuk obsesif khawatir tentang kesalahan masa lalu, kurangnya kinerja sempurna atau kesalahan akan masa depan.
2. Membutuhkan persetujuan (Need for approval), merupakan kecenderungan untuk mencari pembuktian dari orang lain dan peka terhadap kritik.
3. Memikirkan kesalahan (Concern over mistakes), merupakan kecenderungan untuk mengalami penderitaan atau kecemasan atas masalah.
4. Penuh perencanaan (Planfulness), merupakan kecenderungan untuk merencanakan dan membuat keputusan.
5. Tekanan orang tua yang dirasakan (Perceived parent pressure), merupakan kecenderungan untuk tampil sempurna di depan orang tua.
6. Dorongan untuk hasil yang sangat baik (Striving for excellence), merupakan kecenderungan untuk mengejar hasil yang sempurna dan standar yang tinggi.
7. Standar tinggi untuk orang lain (High standard for others), merupakan kecenderungan memiliki standar yang tinggi terhadap orang lain.
8. Keteraturan (Organization), merupakan kecenderungan untuk menjadi rapi dan teratur.
Hewitt & Flett (dalam, Gunawinata, Nanik, & Lasmono, 2008) membaginya menjadi tiga aspek di antaranya,
1. Self oriented perfectionist, merupakan komponen personal dari perfeksionisme, seseorang membuat standar yang sangat tinggi dan tidak realistis untuk kinerja dan perilaku mereka, serta motivasi yang kuat untuk menjadi sempurna.
2. Other oriented perfectionist, merupakan dimensi interpersonal dari perfeksionisme yang melibatkan keyakinan dan harapan akan kemampuan orang lain.
3. Socially prescribed perfectionist, perfeksionis yang merupakan hasil bentukan dari lingkungan sosialnya karena mereka yakin orang lain memiliki standar yang tidak realistis dan motif perfeksionistik terhadap perilakunya.
Menurut Horney (dalam, Gunawinata, Nanik & Lasmono, 2008) perfeksionisme merupakan salah satu aktualisasi diri ideal yang memiliki 3 aspek, yaitu pencarian keagungan yang neurotic, penuntut yang neurotic, dan kebanggaan neurotik.
C. Ciri Perfeksionisme
Biasanya seorang perfeksionis akan kritis terhadap diri dan begitu memperhatikan penilaian orang lain terhadap mereka. Selain itu beberapa tanda umum dari orang yang perfeksionis di antaranya,
1. Tidak memberi ruang untuk kesalahan. Setiap kali menemukan kesalahan seorang perfeksionis akan menjadi yang pertama untuk turun tangan memperbaikinya.
2. Memiliki cara yang spesifik untuk melakukan sesuatu. Itu sebabnya terkadang beberapa orang akan kesulitan untuk bekerja sama dengan perfeksionis.
3. Memiliki pendekatan yang ekstrem. Artinya tidak ada penilaian yang setengah-setengah. Contohnya hanya ada baik atau buruk, sempurna atau tidak sempurna. Tidak ada yang dinamakan sedikit sempurna.
4. Fokus pada hasil akhir. Seorang perfeksionis tidak akan peduli pada apa yang terjadi atau diperlukan untuk mencapai tujuan. Fokusnya hanyalah mencapai hasil akhir. Jika tidak tercapai mereka akan merasa sangat terganggu.
5. Keras pada diri sendiri. Perfeksionis cepat menyalahkan diri sendiri dan sering kali memiliki percaya diri yang rendah.
6. Memiliki standar yang sangat tinggi. Tidak jarang bahkan memiliki standar yang tidak selalu realistis atau berada di luar jangkauan.
7. Selalu merasa tidak cukup. Seorang perfeksionis jarang merasa puas pada keadaan dan hidup karena setiap kali menemukan masalah merasakan kecemasan yang meningkat.
8. Suka menghindar pada hal-hal yang dirasa bukan keahliannya. Sebab orang perfeksionis cenderung takut akan kegagalan sehingga mereka lebih memilih untuk menghindari situasi di mana mereka tidak dapat unggul.
9. Defensif. Bisa sangat defensif menghadapi kritik konstruktif daripada menganggapnya sebagai saran yang dapat digunakan untuk memperbaiki tindakan.
10. Susah mempercayai orang lain untuk melakukan tugas dengan benar sehingga jarang mendelegasikan tugas. Terkadang bisa dianggap terlalu micro management karena suka mengontrol orang lain.
D. Tipe Perfeksionisme
Penelitian menemukan bahwa sebenarnya ada dua tipe perfeksionis yang berbeda namun berkaitan di antaranya,
1. Excellence Seeking Perfectionism. Tipe ini berorientasi pada pencapaian dan prestasi. Akibatnya, tidak hanya menetapkan standar tinggi pada diri mereka juga menuntut kinerja yang tinggi dari orang-orang di sekitarnya.
2. Failure-Avoiding Perfectionist. Tipe ini lebih berorientasi pada kegagalan. Mereka cenderung mendasarkan diri pada gagasan bahwa mereka tidak cukup baik dan takut kehilangan rasa hormat bila mereka tidak sempurna.
Dari kedua tipe perfeksionis bisa dikatakan bahwa tipe perfeksionis yang berorientasi pada prestasi lebih dianggap positif dibanding yang berorientasi pada kegagalan. Pasalnya mereka bisa melindungi diri dengan baik dari tekanan emosional. Berbeda dengan perfeksionis yang berorientasi pada kegagalan karena cenderung lebih cemas, tidak percaya diri dan memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi. Meski begitu perlu diperhatikan bahwa seorang perfeksionis bisa saja memiliki kecenderungan pada dua tipe tersebut sekaligus.
Dari berbagai sumber
Post a Comment