Pengertian Hukum Perdata, Sejarah, Sumber, Asas, dan Jenisnya

Table of Contents
Pengertian Hukum Perdata
Hukum Perdata

A. Pengertian Hukum Perdata

Hukum perdata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah hukum yang mengatur hak, harta benda, dan hubungan antara orang dan orang dalam satu negara. Hukum perdata merupakan ketentuan yang mengatur hak dan kepentingan antar individu dalam masyarakat, atau merupakan segala perangkat atau kaidah-kaidah yang mengatur mengenai perseorangan.

Hukum perdata lebih mengutamakan ranah atau lingkup hak, harta benda, dan semua yang berkaitan dengan perseorangan, atau disebut juga hukum privat. Tradisi hukum di daratan Eropa (civil law) mengenal pembagian hukum menjadi dua yakni hukum publik dan hukum privat atau hukum perdata. Dalam sistem Anglo-Saxon (common law) tidak dikenal pembagian semacam ini.

Pengertian Hukum Perdata Menurut Para Ahli
1. Prof. Sudikno Mertokusumo, hukum perdata merupakan seperangkat peraturan yang mengelola hubungan setiap perseorangan baik itu dalam lingkup keluarga maupun masyarakat.
2. Prof. Subekti, hukum perdata merupakan bagian dari hukum privat yang hanya mengatur kepentingan perseorangan saja, tidak menyangkut hubungannya dengan individu lainnya.
3. Ronald G. Salawane, hukum perdata adalah seperangkat aturan-aturan yang mengatur orang atau badan hukum yang satu dengan orang atau badan hukum yang lain di dalam masyarakat yang menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan dan memberikan sanksi yang keras atas pelanggaran yang dilakukan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
4. Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H., hukum perdata adalah hukum yang mengatur kepentingan perseorangan yang satu dengan perseorangan yang lainnya.
5. Sri Sudewi Masjchoen Sofwan, hukum perdata adalah hukum yang mengatur kepentingan warga negara perseorangan yang satu dengan perseorangan yang lainnya.

B. Sejarah Hukum Perdata

Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Prancis yang disusun berdasarkan hukum Romawi 'Corpus Juris Civilis' yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Prancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Prancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda dan masih terus dipergunakan hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Prancis (1813).

Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh J.M. Kemper disebut Ontwerp Kemper. Namun, sayangnya Kemper meninggal dunia pada 1824 sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh Nicolai yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia. Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1830 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 oleh karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu:
1. BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda).
2. WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang]

Menurut J. Van Kan, kodifikasi BW merupakan terjemahan dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Prancis ke dalam bahasa nasional Belanda.

C. Sumber Hukum Perdata

Menurut Volmare, pengertian hukum perdata yang berkaitan dengan sumbernya dibagi atas dua hal, yakni tertulis dan tidak tertulis. Sumber dari tidak tertulis adalah kebiasaan-kebiasaan yang biasa dilakukan oleh perseorangan yang akhirnya dijadikan sebagai panduan atau sumber hukum. Sumber hukum tertulis dibagi menjadi beberapa hal di antaranya,
1. Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB), merupakan rangkaian dari ketentuan-ketentuan umum yang dimiliki oleh Belanda dan kemudian diterapkan di Indonesia. Ketentuan umum tersebut dijadikan sebagai pedoman yang berlaku pada masyarakat.
2. Burgelik Wetboek (BW) atau KUH Perdata, sumber hukum Burgelik Wetboek memiliki kesamaan dengan sumber hukum tertulis yang pertama, yakni Algemene Bepalingen. Perbedaannya terletak pada asas yang digunakan, yakni pada sumber ini menggunakan asas koncordantie.
3. KUH Dagang atau Wetboek van Koopandhel (WvK), sumber hukum ini mengatur mengenai dua hal. Pertama, mengenai perdagangan secara umum. Lalu, yang kedua mengatur mengenai hak dan kewajiban yang berlaku dalam bidang pelayaran.
4. UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria, peraturan yang berada pada sumber hukum KUH Dagang tidak diberlakukan kembali. Dasarnya, hukum ini mengatur mengenai lingkup pertanahan yang berlandaskan pada hukum adat.
5. UU No. 1 Tahun 1996, pada sumber hukum ini diatur mengenai masalah pokok perkawinan. Selain berkaitan dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat, sumber hukum ini juga mempertimbangkan landasan hukum adat.
6. UU No. 4 Tahun 1996, jika sebelumnya UU No. 5 Tahun 1960 telah mengatur mengenai pokok agraria, maka sumber hukum ini merupakan penyempurnaannya. Lebih tepatnya, sumber hukum ini mengatur segala hal yang berkaitan dengan tanah beserta benda-benda berlingkup sama.
7. UU No. 42 Tahun 1996, sumber hukum yang selanjutnya mengatur mengenai jaminan fidusia. Jaminan fidusia merupakan pengalihan kepemilikan benda tertentu. Hal ini berkaitan dengan transaksi yang biasa dilakukan di dalam lingkup kehidupan masyarakat.
8. UU No. 24 Tahun 2004, sumber hukum ini mengatur mengenai lembaga jaminan simpanan yang biasa berlaku pada perbankan. Setiap bank yang beroperasi di Indonesia memiliki kewajiban untuk menjadi partisipan dalam penjaminan simpanan.
9. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991, sumber hukum tertulis yang terakhir ini mengatur mengenai kompilasi hukum agama Islam. Menjadi agama mayoritas, pemerintah menerapkan serangkaian peraturan yang memudahkan para pemeluk agama.

D. Asas Hukum Perdata

Terdapat sekitar 12 asas yang menjadi landasan dalam pelaksanaan hukum perdata di antaranya,
1. Asas Konsesualisme, asas ini menjelaskan mengenai tata cara dalam melakukan perjanjian. Pada pasal 1320 ayat 1, dalam UU KUHP dikatakan bahwa sebuah perjanjian baru akan diakui apabila kedua belah pihak telah sepakat.
2. Asas Kekuatan Mengikat, asas kekuatan mengikat masih membahas mengenai perjanjian yang dilakukan oleh seseorang baru dikatakan mengikat apabila masing-masing memang mengikuti perjanjian tersebut. Ranah dari perjanjian ini lebih mengarah pada lingkungan formal, seperti perjanjian perusahaan atau yang sejenisnya.
3. Asas Persamaan Hukum, di dalam negara yang menggunakan hukum sebagai sumber keputusannya, setiap individu memiliki hak dan kewajiban yang setara. Hal ini menandakan bahwa setiap individu tidak peduli apa pun jabatannya memiliki kedudukan yang sama di mata hukum.
4. Asas Kebebasan Berkontrak, asas kebebasan berkontrak menekankan jika setiap individu memiliki hak untuk menjalin kontrak atau kerja sama dengan orang lainnya. Hal ini selaras dengan pasal 1338 ayat 1 dalam KUHP yang menjelaskan jika semua perjanjian yang sah di mata hukum wajib untuk dipatuhi.
5. Asas Kepercayaan, di dalam menjalankan kontrak atau perjanjian, antara kedua pihak harus transparan dan saling percaya satu sama lain. Sebelum menyepakati perjanjian, harus ada keterbukaan dari masing-masing pihak.
6. Asas Moral, asas moral berkaitan dengan perilaku yang dilakukan oleh setiap individu dalam menjalankan perjanjiannya. Ketika perjanjian berlangsung, tidak boleh ada sikap atau moral yang menyimpang karena bisa merugikan salah satu pihak.
7. Asas Kepatutan, asas kepatutan menekankan jika dalam perjanjian harus berdasarkan hal-hal yang wajar dan tidak dibuat-buat.
8. Asas Itikad Baik, asas itikad baik berkaitan dengan proses pelaksanaan perjanjian. Maksudnya, dalam proses pelaksanaannya, penting untuk selalu menjaga keadilan serta hak dari setiap individu.
9. Asas Kepribadian, asas yang terakhir adalah asas kepribadian yang mendasari kepentingan pribadi sebagai tujuan dilaksanakannya perjanjian.

E. Jenis Hukum Perdata

Terdapat dua jenis perdata yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan pembagian dalam KUHP
1. Berdasarkan Ilmu Pengetahuan
a. Hukum Perseorangan, setiap individu memiliki wewenang dalam menjalankan hak dan kewajibannya. Individu lainnya tidak boleh melakukan campur tangan atas kehidupan individu lainnya.
b. Hukum Keluarga, hukum keluarga mencakup mengenai perkawinan yang dilakukan oleh lelaki dan perempuan yang kemudian menghasilkan keturunan. Hukum ini juga mengatur tentang peran orang tua, wali, dan lainnya.
c. Hukum Kekayaan, hukum kekayaan mengatur mengenai semua benda yang melekat atau menjadi hak milik perseorangan. Benda-benda yang diatur memiliki sifat mutlak dan terikat.
d. Hukum Waris, sesuai dengan namanya, hukum ini mengatur mengenai semua seluk beluk yang berkaitan dengan harta waris. Tidak hanya harta peninggalannya saja, tetapi juga urutan penerimaannya.

2. Berdasarkan Pembagian KUHP
a. Buku I, pada buku I diatur mengenai perseorangan sekaligus dengan hukum kekeluargaan. Kedua ranah tersebut diatur dalam satu kesatuan.
b. Buku II, pada buku II, segala hal mengenai kepemilikan termasuk benda dan hak waris diatur di dalamnya. Kedua masalah tersebut memiliki lingkup yang sama sehingga diatur menjadi satu.
c. Buku III, pada buku III dijelaskan tentang ranah perikatan. Pada buku ini, ada hubungan timbal balik yang diatur sehingga hak yang diterima bisa seimbang.
d. Buku IV, pada buku IV, mengatur mengenai alat-alat yang dijadikan sebagai pembuktian dalam hukum. Setiap perbuatan memiliki alat-alat hukum yang berbeda-beda.

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment