Definsi Rekonsiliasi dalam Konflik Sosial

Pengertian Rekonsiliasi dalam Konflik Sosial
Rekonsiliasi dalam Konflik Sosial

A. Definsi Rekonsiliasi
Rekonsiliasi merupakan jalan untuk merukunkan atau mendamaikan pihak yang berkonflik melalui perundingan yang dapat dilakukan dengan menggunakan institusi adat atau pranata sosial dengan jalan pemberian ganti rugi atau pemaafan. Rekonsiliasi dalam hal ini memfokuskan diri pada bagaimana membangun kembali hubungan yang telah rusak akibat dari konflik. Rekonsiliasi diatur dalam UU RI No. 7 Tahun 2012 Pasal 37 ayat 1 dan 2.

Rekonsiliasi tidak hanya berbicara tentang bagaimana membangun hubungan yang telah retak akibat konflik, tetapi ia juga berbicara tentang suatu konsep dan praxis yang mencoba untuk mengkerangkakan kembali makna dari konflik secara positif. Berikut beberapa pengertian rekonsiliasi menurut ahli:
1) Lambang Triono dalam Alimuddin (2006:54), rekonsiliasi adalah sebuah proses, dan bukan semata-mata menemukan penyelesaian masalah namun mengubah hubungan pihak-pihak yang berkonflik dari permusuhan menuju pada pertemanan dan kerja sama. Dengan kata lain bahwa rekonsiliasi merupakan tujuan akhir dari semua upaya penyelesain konflik.
2) Assefa dalam Alimudin (2006:55), rekonsiliasi adalah sebagai suatu proses pemuliahan hubungan, koeksistensi damai, hidup berdampingan dan tidak saling mengganggu satu sama lain.
3) CRS (Catholic Relief Services), rekonsiliasi adalah refers to restoring right relationships between people who have been alienated and separated from each other during conflict. Reconciliation occurs not only in relationships, but also at the spiritual, personal, social, structural and ecological levels. (Mengacu kepada membangun kembali hubungan antarmanusia yang teralienasikan dan terpisah antaranya selama konflik berlangsung. Rekonsiliasi terjadi tidak hanya dalam hubungan, tetapi juga pada tingkat spiritual, sosial, struktural, dan ekologikal)

Dimensi relasional akan menghubungkan kita dengan aspek emosional dan psikologis seseorang dan kelompok atas kelompok yang lainnya. Selain itu ia akan selalu menghubungkan kita dengan kebutuhan akan pengakuan atas apa yang telah terjadi di masa lampau, mengorek kesalahan masa lampau dan meminta pengakuan atas kesalahan yang telah diperbuat. Namun rekonsiliasi juga bagaimana kita dapat mengeksplorasi masa depan bersama yang lebih baik. Rekonsiliasi adalah sebuah locus, yang menciptakan ruang yang dapat mempertemukan pihak-pihak yang berbeda, mempertemukan segala energi yang ada, dan semua paradox dari kebenaran dan welas asih, keadilan, dan perdamaian akan bertemu.

Lederach berasumsi bahwa rekonsiliasi relasional antarpihak berkonflik yang sifatnya berkesinambungan dalam konteks masyarakat yang sudah terpecah belah karena konflik atau pertikaian (divided society) adalah suatu keharusan yang mutlak untuk dilakukan ketika suatu masyarakat ingin meninggalkan masa lampaunya, menuju masa depan yang damai. Dengan meninggalkan sejarah masa lampau akan kebencian, kemarahan, dan kekerasan, akan dapat memberikan energi baru dalam membangun masa depan yang lebih baik. Dan tentu saja rekonsiliasi haruslah sesuatu yang sifatnya berkesinambungan, agar dapat menjamin kelangsungan proses pembangunan dapat berjalan lancar tanpa terganggu konflik-konflik yang muncul kemudian.

B. Asumsi Pentingnya Rekonsiliasi
Ada 3 asumsi penting yang mendasari mengapa rekonsiliasi yang sifatnya berkesinambungan penting untuk dilakukan.
1) Pertama adalah hubungan antarmanusia (relationship) sesungguhnya adalah dasar dari permasalahan konflik dan pemulihan hubungan jalinan antarmanusia yang baik adalah suatu solusi jangka panjang. Hubungan antarmanusia yang baik adalah suatu focal point dalam membangun dialog yang berkesinambungan.
2) Kedua adalah rekonsiliasi haruslah dapat menemukan ruang untuk mengagendakan masa lampau tanpa harus kita terkunci dan terikat pada masa lampau itu sendiri, yang penuh dengan kemarahan, ketakutan, kebencian, dan kekerasan. Dalam konteks ini, bisa kita sebut bahwa rekonsiliasi adalah suatu titik di mana masa lampau dan masa depan dapat bertemu.
3) Ketiga adalah rekonsiliasi selalu membutuhkan suatu cara pandang yang dapat melihat permasalahan utama dari sisi luar tradisi politik internasional yang ada, wacana yang berkembang, dan operasional atau usaha-usaha yang telah ada, agar dapat menemukan suatu inovasi baru dalam upaya rekonsiliasi.

C. Syarat Rekonsiliasi
Sebagai suatu representasi dari ruang sosial, rekonsiliasi tidak hanya mempertemukan pihak yang saling benci, namun ia juga menurut Lederach (1999,29) adalah suatu tempat yang di dalamnya kebenaran (truth), sifat welas asih manusia (mercy), keadilan (justice), dan damai (peace) dapat bertemu dan bersatu secara bersama. Lebih lanjut menurutnya, sebuah rekonsiliasi yang sejati setidaknya akan tercapai jika mengandung syarat-syarat berikut:
1) Kebenaran (truth) yang didalamnya terdapat pengakuan, transparansi, pengungkapan, dan klarifikasi atas suatu kebenaran;
2) Adanya sifat welas asih (mercy) yang mana didalamnya terdapat unsur penerimaan, pengampunan, dukungan, keharusan, dan penyembuhan;
3) Perdamaian di mana di dalamnya terdapat unsur harmoni, kesatuan, kesejahteraan, keamanan, dan penghargaan, dan yang terakhir adalah adanya syarat;
4) Keadilan yang mana di dalamnya terdapat unsur kesetaraan, pemulihan hubungan atas dasar hak-hak yang dimiliki seseorang, memulihan segala sesuatunya sesuai dengan hak-hak dan kewajibannya, dan adanya restitusi atau pengembalian hak-hak masing-masing individu.

D. Elemen-elemen dalam Rekonsiliasi
Dalam hal ini jika kita berbicara tentang rekonsiliasi, maka ada tercakup di dalamnya 2 elemen penting, yaitu rekonsiliasi sebagai sebuah fokus dan rekonsiliasi sebagai sebuah locus.
1) Sebagai sebuah fokus, rekonsiliasi dapat dipandang sebagai suatu prespektif yang dibangun dan diarahkan dalam memperbaiki atau memulihkan aspek relasional yang ada dalam suatu konflik. Selain itu sebagai sebuah fokus, rekonsiliasi dapat dipahami juga sebagai suatu paradox yang mencoba mempertemukan kontradiksi yang ada, semisal bagaimana mempertemukan sisi-sisi yang negatif dari dampak yang ditimbulkan oleh konflik (benci, amarah, dendam, dll) dengan sisi-sisi positif dari sebuah pengharapan masa depan atas semua pelajaran yang diterima dari sebuah konflik yang terjadi (harapan baru, semangat akan perubahan, dll).
2) Sebagai sebuah locus, kita dapat menyebut rekonsiliasi sebagai suatu gejala sosial, yang mana ia merepresentasikan suatu ruang, ruang atau tempat atas bertemunya pihak-pihak yang berkonflik. Rekonsiliasi haruslah dapat proaktif dalam menciptakan peluang-peluang yang kreatif dan inovatif, di mana para pihak yang berkonflik dapat memfokuskan bagaimana membangun hubungan relasional mereka agar dapat lebih baik dan berkesinambungan. Dan tentunya bagaimana dapat membagi pandangan, perasaan, dan pengalaman antarmereka, dengan tujuan menciptakan suatu pemikiran baru atas interpretasi hubungan mereka dulu yang penuh dengan kekerasan dan sisi negatif menjadi hubungan yang lebih konstruktif. 


Dari berbagai sumber 

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Definsi Rekonsiliasi dalam Konflik Sosial"