Definisi Budaya Massa (Mass Culture), Dasar Pembentukan, Ciri, dan Manifestasinya

Pengertian Budaya Massa atau Mass Culture
Budaya Massa (Mass Culture)
A. Definisi Budaya Massa (Mass Culture)
Dari asal katanya, budaya massa merupakan istilah untuk mass culture, istilah inggris yang berasal dari bahasa Jerman yaitu Masse dan kultur. Di Eropa budaya massa ditujukan kepada mayoritas masyarakat Eropa kelas menengah ke bawah yang tak terpelajar, seperti kelas pekerja dan kaum miskin yang disebut mass atau masse. Karena itu istilah budaya massa di Eropa diidentikkan dengan ejekan atau merendahkan terhadap apa yang menjadi pilihan-pilihan kaum kelas menengah ke bawah ini. Pilihan-pilihan itu seperti pilihan produk, ide, perasaan, pikiran dan sikap masyarakat Eropa yang tidak terpelajar.

Dalam perkembangannya, budaya massa lebih merupakan hasil budaya yang dibuat secara massif demi kepentingan pasar. Budaya massa lebih bersifat massal, terstandarisasi dalam sistem pasar yang anonim, praktis, heterogen, lebih mengabdi pada kepentingan pemuasan selera. Budaya  massa (mass culture) secara sederhana serupa dengan budaya popular dalam basis penggunaan masyarakat kebanyakan. Budaya massa diproduksi lewat teknik-teknik produksi massal industri. Budaya tersebut dipasarkan kepada massa (konsumen) secara komersial. Budaya ini kemudian dikenal pula sebagai budaya komersial yang menyingkirkan budaya-budaya lain yang tidak mampu mencetak uang seperti budaya elit (high culture), budaya rakyat (folk culture) dan budaya popular (popular culture) yang dianggap ketinggalan zaman.

Produsen budaya massa melihat para penerima budaya sebagai pasif, lembek, mudah dimanipulasi, mudah dieksploitasi, dan sentimentil. Bertindak selaku agen dari budaya massa ini media massa. Televisi, radio, majalah, surat kabar, dan internet menempati posisi penting selaku agen budaya. Sementara produsen dari budaya massa adalah para pemilik pabrik barang (pakaian, kosmetika, kendaraan) dan jasa (konsultan marketing, event organizer, manajer artis). Kemampuan mass media menjangkau khalayak (audiens potensial) secara luas, membuat mass culture sangat mudah dipasarkan. Diyakini bahwa budaya massa ini telah berkembang jauh dan pesat, menjangkau seluruh wilayah dan lapisan suku-suku bangsa yang mengalami persentuhan dengan teknologi informasi dan pusat perputaran barang dan jasa.

Budaya massa merujuk kepada proses pluralisme dan demokrasi yang kental, berusaha untuk menghilangkan kelas-kelas yang mendasarkan dirinya pada budaya modal, borjuasi dan elitisme, dengan mengedepankan kebersamaan dan egalitarianisme. Namun dampak negatif budaya massa juga memunculkan perilaku konsumerisme, kesenangan universal yang bersifat hanya seketika, mudah punah, dan memiliki makna yang dangkal dan tidak bersifat ganda, mengacu kepada pengertian produk budaya yang diciptakan semata-mata untuk pasar. Dengan kata lain dalam budaya massa, orientasi produk adalah tren atau mode yang sedang diminati pasar. Kesamaan atau keseragaman model dan etos adalah corak terpenting dalam kebudayaan massa.

Dalam sosiologi, istilah massa mengandung pengertian kelompok manusia yang tak bisa dipilah-pilah, bahkan semacam kerumunan (crowd) yang bersifat sementara dan dapat dikatakan segera mati. Dalam kelompok manusia yang seperti ini, identitas seseorang biasanya tenggelam. Masing-masing akan mudah sekali meniru tingkah laku orang-orang lain yang sekerumunan. Puncak dari tingkah laku mereka akan dilalui, katakanlah maksudnya selesai, apabila secara fisik mereka sudah lelah dan tujuan bersamanya tercapai. Berikut beberapa pengertian budaya massa dari berbagai ahli di antaranya,
1) Menurut Bennet dan Tumin, kebudayaan massa adalah seperangkat ide bersama dan pola perilaku yang memintas garis sosio-ekonomi dan pengelompokkan sub-kultural dalam suatu masyarakat yang kompleks
2) Menurut aliran Frankfurt (Mazhab Frankfurt), budaya populer adalah budaya massa yang dihasilkan industri budaya untuk stabilitas maupun kesinambungan kapitalisme

B. Dasar Pembentukan Budaya Massa
Budaya massa sendiri dibentuk berdasarkan (dalam Burhan Bungin, 2009: 100) hal berikut,
1) Tuntutan industri kepada pencipta untuk menghasillkan karya yang banyak dalam tempo singkat. Maka si pencipta untuk menghasilkan karya yang banyak dalam tempo singkat tak sempat lagi berpikir  dan dengan cepat menyelesaikan karyanya. Mereka memiliki target produksi yang harus dicapai dalam waktu tertentu
2) Karena massa budaya begitu latah menyulap atau meniru segala sesuatu yang sedang naik daun atau laris, sehingga media berlomba mancari keuntungan sebesar-besarnya

C. Ciri-ciri Budaya massa (Burhan Bungin,2009: 77-78)
1) Nontradisional, yaitu umumnya komunikasi massa berkaitan erat dengan budaya populer berupa acara-acara infotainment, seperti indonesian idol, penghuni terakhir, dan sebagainya adalah salah satu contoh karakter budaya massa ini
2) Budaya massa juga bersifat merakyat, tersebar di basis massa sehingga tidak merucut di tingkat elite, namun apabila ada elite yang terlibat dalam proses ini maka itu bagian dari basis massa itu sendiri
3) Budaya massa juga memproduksi budaya massa, seperti infotainment adalah produk pemberitaan yang diperuntukan kepada massa secara meluas. Semua orang dapat memanfaatkannya sebagai hiburan umum
4) Budaya massa sangat berhubungan dengan budaya popular sebagai sumber budaya massa. Bahkan secara tegas dikatakan bahwa bukan popular kalau budaya massa artinya budaya tradisional dapat menjadi budaya popular apabila menjadi budaya massa. Contohnya srimulat, ludruk, maupun campursari. Pada mulanya kesenian tradisional ini berkembang di masyarakat tradisioanal dengan karakter-karakter tradisional, namun ketika kesenian ini dikemas di media massa maka sentuhan popular mendominasi seluruh kesenian tradisional itu baik kostum, latar, dan sebagainya tidak lagi menjadi konsumsi masyarakat pedesaan namun secara massal menjadi konsumsi semua lapisan masyarakat di pedesaan dan perkotaan.
5) Budaya massa, terutama yang diproduksi oleh media massa diproduksi dengan menggunakan biaya yang cukup besar, karena itu dana yang besar harus menghasilkan keuntungan untuk kontinuitas budaya massa itu sendiri, dengannya budaya massa diproduksi secara komersial agar tidak saja menjadi jaminan keberlangsungan sebuah kegiatan budaya massa namun juga menghasilkan keuntungan bagi kapital yang diinvestasikan pada kegiatan tersebut
6) Budaya massa juga diproduksi secara eksklusif menggunakan simbo-simbol kelas sehingga terkesan diperuntukan kepada masyarakat modern yang homogen, terbatas dan tertutup. Syarat utama dari eksklusifitas budaya massa ini adalah keterbukaan dan ketersediaan terlibat dalam perubahan budaya secara massal

D. Manifestasi Budaya Massa
1) Shopping Mall
Shopping mall disebut oleh Yasraf Amir Piliang sebagai manifestasi budaya massa yang bersifat fantasi. Dalam shopping mall, kegiatan belanja yang semata-mata transaksi jual beli mengalami perubahan. Dalam shopping mall kegiatan belanja berubah fungsi sebagai pengisi waktu senggang (leisure time) atau tempat membolos bagi siswa sekolah yang nakal. Ini dapat kita lihat pada berapa banyak setiap harinya orang-orang berkeliling shopping mall tanpa berbelanja apapun. Terkadang mereka cuma berkeliling, berbincang, atau mengagumi barang-barang produk baru. Shopping mall memuaskan rasa penasaran manusiawi akan hal baru. Shopping mall terus meremajakan diri lewat sajiannya atas wahana-wahana toko baru, permainan kanak-kanak, serta lingkungan yang semakin nyaman (taman, tempat duduk, AC, dan kebersihan).

Pada satu sisi, berdirinya mall merupakan upaya dari para pemerintah daerah untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi daerah. Mall terdiri atas beragam diversifikasi usaha seperti bank, toko makanan, toko buku, toko mainan, taman bermain prabayar, bioskop, dan sejenisnya. Tenaga kerja yang direkrut pun cukup banyak, termasuk potensi-potensi yang dibawanya yaitu bergeliatnya kegiatan ekonomi di sekeliling mall seperti rumah kontrakan, kos, angkutan umum, warung makan, dan sebagainya. Namun, dari sisi budaya, mall menjadi agen massalisasi. Produk-produk barang dan jasa yang ditawarkan setiap mall cenderung homogen.

Kapitalisasi produk – bahkan manusia – pun berlangsung di mall. Relatif sering terlihat di hampir setiap department store, manusia (umumnya kaum perempuan) dipajang menjajakan produk pabrikan tertentu seperti kosmetik dan pakaian. Layaknya manequin mereka berdiri statis dan bedanya sekadar bisa tersenyum dan menyapa. Selain shopping mall, kini berkembang pula fenomena hypermall, yang berbeda dengan shopping mall yang beraneka agen. Hypermall ditandai satu agen tunggal. Homogennya produk dijual lebih tinggi dalam hypermall. Ia pun seolah memindahkan satu pasar tradisional ke dalam sebuah toko tunggal. Carrefour, Giant, Hypermart, dan sejenisnya kini pun telah berkembang di Indonesia. Barang yang mereka jual, kendati satu agen tunggal, sangat bervariasi dari bahan mentah makanan hingga barang elektronik canggih semisal televisi flat dan laptop. Terkadang kendaraan roda dua dan empat pun dijajakan di sana. Konsumen begitu dimanjakan dengan sifat segala ada, nyaman, cepat, terklasifikasi, seperti disediakan oleh hypermall.

Berbeda dengan pasar tradisional, interaksi sosial antara penjual dan pembeli di hypermall sepenuhnya ditentukan pengelola. Misalnya, barcode yang ditempelkan di setiap barang adalah harga pasti tanpa bisa ditawar. Negosiasi harga tidak ada antara penjual dan pembeli dan demikian satu aspek interaksi sosial berkurang. Kemasan setiap produk lebih menentukan ketimbang isi, dan ini berbeda dengan pasar tradisional di mana hampir seluruh produk dagangan tidak dikemas (kecuali produk-produk pabrikan). Pembeli sulit memaknai barang akibat pemaknaan disekat kemasan. Pembeli jadi amat bergantung pada informasi yang terkandung di dalam kemasan, dan kalaupun bertanya, paling banter ia akan dilayani oleh tenaga marketing produk bersangkutan yang intinya memperkuat informasi tertoreh di kemasan.

2) McDonald-ization
Fenomena restoran fast-food juga merupakan bentuk umum budaya massa. Perlu diingat, makanan adalah salah satu komponen material budaya. Restoran yang di negara asalnya disebut menyediakan junk-food (makanan sampah), di Indonesia justru dimaknai secara baru: high-class. Hampir seluruh kalangan masyarakat (kaya, miskin, tua, muda) menemui pemenuhan kebutuhan sosial mereka di restoran fast-food McDonald, termasuk ke dalamnya Kentucy Fried Chicken, Hoka-hoka Bento, Pizza Hut, dan sejenisnya. Jika ditelusuri mendalam maka penyebaran restoran-restoran fast-food ini di-stir oleh oleh satu perusahaan. Mereka menjalankan manipulasi publik dengan menawarkan kelezatan, kecepatan, dan kenyamanan. McDonald adalah milik Ray Croc yang ia bangun pada tahun 1955. McDonald mengklaim memiliki 30.000 anjungan di seluruh dunia dan seharinya dikunjungi 50.000.000 orang. Bidikan utamanya adalah penjualan produk makanan dan mereka memiliki sentra-sentra anjungan dalam negara-negara dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi dan ada dalam peralihan masyarakat agraris ke industrial.

Homogenisasi budaya merupakan konsekuensi tidak terelakkan dari fenomena McDonald-ization ini. Hamburger, Coca Cola, Fanta, Walls Ice Cream, merupakan beberapa jenis makanan yang dijajakan di McDonald. Di 30.000 anjungan McDonald seluruh dunia, jenis-jenis makanan tersebut dijajakan dalam format dan rasa serupa. Publik tidak dapat menentukan sendiri selera mereka di restoran cepat saji, tetapi dengan dukungan strategi marketing dan maraknya iklan, akhirnya ilusi penentu pun dapat dikondisikan di dalam benak audiens. Ini berbeda tatkala kita memasuki rumah makan Padang yang menyediakan ayam bakar, ayam goreng, ikan panggang, rendang, kikil, dan ragam lainnya yang masing-masing memiliki bumbu spesifik. Selain itu, menu rumah makan Padang sesungguhnya memiliki bahan dasar bumbu dan varietas makanan yang biasa dikonsumsi orang Indonesia sehari-hari. Makanan Padang merupakan folk culture yang beralih menjadi popular culture. Hal yang mirip juga terdapat dalam fenomena tahu gejrot, gado-gado, karedok, ataupun rujak petis.

3) Televisi
Jika dibandingkan media lain seperti radio dan surat kabar/majalah, maka di Indonesia, televisi satu-satunya media di mana pemirsanya terus meningkat. Pemirsa radio dan surat kabar atau majalah di Indonesia cenderung menurun sejak 2003 hingga 2009. Hanya televisi satu-satunya yang mampu meningkatkan jumlah pemirsa mereka dalam kurung tersebut. Televisi mampu menyajikan hot issue dalam format audio visual. Dalam format ini pemirsa dalam dirambah ranah kognisi dan afeksinya. Dalam konteks televisi ini, budaya massa merambah layar elektronik.

Acara televisi seperti opera sabun dalam wadah sinema elektronik (sinetron), program-program penggalian bakat (new idol), talk-show, dan sejenisnya. Bayangkan, sejumlah program seperti Who wants to be a Millionaire? yang pada tahun 2004 saja telah dijual ke 106 negara, rekaman kompilasi hits The Beatles terjual 12 juta kopi dalam 2 bulan di akhir tahun 2000, atau Elvis Presley yang telah menjual kurang lebih 1 milyar record baik dalam bentuk kaset ataupun CD di seluruh penjuru dunia pada tahun 2005 kendati bintang tersebut telah meninggal dunia sejak 1977.

Hal yang perlu diingat, dalam komoditas budaya yang dijadikan mass culture, audiens (pemirsa) dianggap lembek, tidak kritis, dan mudah dibujuk. Sebab itu, produk-produk mass culture dapat langsung dikonsumsi tanpa melalui filter yang mencukupi. Misalnya, produk-produk sinetron Indonesia yang banyak mengumbar bentakan-bentakan kasar (bullying), penyederhanaan karakter yang cenderung hitam-putih (tidak mendalam), alur cerita yang cenderung berputar-putar dan seolah tidak pernah selesai (episode diperpanjang jika kontrak diperpanjang oleh saluran televisi). Semua produk tersebut dikonsumsi oleh mayoritas audiens hampir tanpa reserve. Audiens cuma memilih antara tidak menonton lalu berpindah ke saluran televisi lain. Namun, akhirnya mereka pun menemui tayangan-tayangan sejenis dan suka atau tidak suka, harus menikmatinya.


Dari berbagai sumber

Download
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Definisi Budaya Massa (Mass Culture), Dasar Pembentukan, Ciri, dan Manifestasinya"